BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam dunia pendidikan yang telah mengalami banyak kemajuan baik secara
sistem maupun aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat mengubah
kepribadian serta pemikiran masyarakat secara global. Peran pemerintah tentunya
sangat besar dalam memajukan suatu sistem dalam dunnia pendidikan. Di mana pada
umumnya tujuan pendidikan adalah sebagai lembaga pengembangan, pembaharuan, dan
penjamin mutu pendidikan, pelatihan tenaga kependidikan dan masyarakat yang
profesional, bernuansa lingkkungan yang sehat untuk mampu bersaning di pasar
bebas dan global.
Untuk itu peran pemerintah dakam memajukan pendidikan merupakan suatu
garda terdepan yang harus difungsikan. Tentunya dalam hal ini pemerintah yang
baik menjadi pondasi awal untuk kemajuan di segala bidang. Sehingga dalam
aplikasinya pengertian, pemahaam serta pembahasan dari GOODGOVERNANCE dirasa layak untuk didiskusikan secara
menyeluruh agar para mahasiswa dapat mengetahui dan mencari solusi dari suatu
permasalahan tanpa ada saling menyalahkan ataupun memojokkan suatu golongan
atau ormas yang ada.
B.
Tujuan
Pemerintah
yang baik ialah pemerintahan yang mementingkan kebutuhan masyarakat lebih utama
dibandingkan kebutuhan yang ada lainnya. Untuk mencapai kata mufakat atau rasa
kebersamaan yang ada dalam sebuah diskusi bukanlah hal yang mudah untuk dicapai
dan diraih. Dalam hal ini peran individu yang sabar, berpikiran luas serta
bebas dan juga memiliki sifat visioner sangat diperlukan.
Untuk itu dalam hal ini pembuatan makalah atau
sebuah karya tulis dengan judul “GOODGOVERNANCE” penulis bertujuan agar
para pembaca dapat mengetahui segala permasalahan yang ada disekitar
pemerintahan dan mencari solusi untuk memecahkan masalah tersebut. Dalam
aplikasinya sifat supervise sangat diperlukan untuk mencari solusi tanpa ada
kontroversi yang menjalar disegala bidang.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian
Good Governance
Terminology “good” dalam istilah good governance mengandung dua pengertian. Pertama: nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional), kemadirian, pembangunan berkelanjutan, dan keadilan sosial. Kedua : aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Terminology “good” dalam istilah good governance mengandung dua pengertian. Pertama: nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional), kemadirian, pembangunan berkelanjutan, dan keadilan sosial. Kedua : aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
United Nations Development Program ( UNDP ) dalam
dokumen kebijakannya yang berjudul “Governance for sustainable Humas Development
“(1977) yang artinya (kepemimpinan adalah pelaksanaan kewenangan atau kekuasaan
dalam bidang ekonomi, politik, dan administrative untuk mengelola berbagai
urusan negara pada setiap tingkatannya dan merupakan instrument kebijakan
negara untuk mendorong terciptanya kondisi kesejahteraan integritas dan
kohesitas social dalam masyarakat).
Berdasarkan pengertian tersebut, kepemerintahan yang baik berorientasi pada 2 (dua) hal, yaitu:
• Orientasi Ideal Negara
Yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional, yaitu mengacu pada demoratis dengan elemen: legitimacy, accountability, otonomi dan devolusi (pendelegasian wewenang) kekuasaan kepada daerah dan adanya mekanisme control oleh masyarakat
• Pemerintahan yang Befungsi secara Ideal
Yaitu secara efektif dan efisien melakukan upaya pencapaian tujuan nasional. Hal ini tergantung pada sejauh mana pemerintah memiliki kompetensi, struktur dan mekanisme politik serta administrative yang berfungsi secara efektif dan efisien.
Berdasarkan pengertian tersebut, kepemerintahan yang baik berorientasi pada 2 (dua) hal, yaitu:
• Orientasi Ideal Negara
Yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional, yaitu mengacu pada demoratis dengan elemen: legitimacy, accountability, otonomi dan devolusi (pendelegasian wewenang) kekuasaan kepada daerah dan adanya mekanisme control oleh masyarakat
• Pemerintahan yang Befungsi secara Ideal
Yaitu secara efektif dan efisien melakukan upaya pencapaian tujuan nasional. Hal ini tergantung pada sejauh mana pemerintah memiliki kompetensi, struktur dan mekanisme politik serta administrative yang berfungsi secara efektif dan efisien.
Berikut ini adalah beberapa pendapat
atau pandangan tentang wujud kepemerintahan yang baik (good governance), yaitu:
• World Bank (2000)
Good governance adalah suatu penyelenggaaan manajemen pemerintahan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi korupsi, baik secara politik maupun administrative, menjalankan disiplin anggaran penciptaan legal dan political framework bagi tumbuhnya aktifitas swasta.
• UNDP
Memberikan pengertian Good Governance sebagai suatu hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara Negara, sektor swasta dan masyarakat
• Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2000
Kepemerintahan yang baik adalah kepemerintahan yang mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip prifesionalitas, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektifitas, supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyrakat
• Modul Sosialisasi AKIP (LAN&BPKP2000)
Good Governance merupakan proses penyelenggaraan kekuasaan Negara; oleh sebab itu, melaksanakan penyediaan Public goods dan services. Good Governance yang efektif menuntut adanya “alignment “ (koordinasi) yang baik dan integritas, profesionalisme serta etos kerja dan moral yang tinggi. Agar kepemerintahan yang baik menjadi realitas dan berhasil diwujudkan, diperlukan komitmen dari semua pihak, pemerintah, dan masyrakat.
Dari beberapa pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa Good Governance bersenyawa dengan system administrative Negara, maka upaya untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik merupakan upaya melakukan penyempurnaan system administrasi Negara yang berlaku pada suatu Negara secara menyeluruh. Dalam kaitan dengan ini Bagir Manan menyatakan bahwa “sangat wajar apabila tuntutan penyelenggaraan pemerintahan yang baik terutama ditujukan pada pembaruan administrasi Negara dan pembaruan penegakan hukum”. Hal ini dikemukakan karena dalam hubungan dengan pelayanan dan perlindungan rakyat ada dua cabang pemerintahan yang berhubungan langsung dengan rakyat, yaitu administrasi Negara dan penegak hukum.
• World Bank (2000)
Good governance adalah suatu penyelenggaaan manajemen pemerintahan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi korupsi, baik secara politik maupun administrative, menjalankan disiplin anggaran penciptaan legal dan political framework bagi tumbuhnya aktifitas swasta.
• UNDP
Memberikan pengertian Good Governance sebagai suatu hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara Negara, sektor swasta dan masyarakat
• Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2000
Kepemerintahan yang baik adalah kepemerintahan yang mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip prifesionalitas, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektifitas, supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyrakat
• Modul Sosialisasi AKIP (LAN&BPKP2000)
Good Governance merupakan proses penyelenggaraan kekuasaan Negara; oleh sebab itu, melaksanakan penyediaan Public goods dan services. Good Governance yang efektif menuntut adanya “alignment “ (koordinasi) yang baik dan integritas, profesionalisme serta etos kerja dan moral yang tinggi. Agar kepemerintahan yang baik menjadi realitas dan berhasil diwujudkan, diperlukan komitmen dari semua pihak, pemerintah, dan masyrakat.
Dari beberapa pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa Good Governance bersenyawa dengan system administrative Negara, maka upaya untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik merupakan upaya melakukan penyempurnaan system administrasi Negara yang berlaku pada suatu Negara secara menyeluruh. Dalam kaitan dengan ini Bagir Manan menyatakan bahwa “sangat wajar apabila tuntutan penyelenggaraan pemerintahan yang baik terutama ditujukan pada pembaruan administrasi Negara dan pembaruan penegakan hukum”. Hal ini dikemukakan karena dalam hubungan dengan pelayanan dan perlindungan rakyat ada dua cabang pemerintahan yang berhubungan langsung dengan rakyat, yaitu administrasi Negara dan penegak hukum.
B.
Prinsip–prinsip Good Governance
Good governance, menurut Masyarakat Transparansi Indonesia, merupakan upaya pengelolaan pemerintahan yang baik dengan mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai prinsip dasar good governance. Adapun prinsip dasar good governance tersebut adalah:
Good governance, menurut Masyarakat Transparansi Indonesia, merupakan upaya pengelolaan pemerintahan yang baik dengan mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai prinsip dasar good governance. Adapun prinsip dasar good governance tersebut adalah:
1.
Partisipasi masyarakat.
Semua warga masyarakat
mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun
melalui lembaga-lembaga perwakilan yang sah yang mewakili kepentingan mereka.
Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan
mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara
konstruktif.
2.
Tegaknya supremasi hukum.
Kerangka hukum harus adil
dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang
menyangkut hak asasi manusia.
3.
Transparansi.
Transparansi dibangun atas
dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga
dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.
4.
Peduli pada stakeholder.
Lembaga-lembaga dan seluruh
proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan.
5.
Berorientasi pada konsensus.
Tata pemerintahan yang baik
menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu
konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok
masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan
prosedur-prosedur.
6.
Kesetaraan.
Semua warga masyarakat
mempuntai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.
7.
Efektivitas dan efisiensi.
Proses-proses pemerintahan
dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan
dengan n menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.
8.
Akuntabilitas.
Para pengambil keputusan di
pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat bertanggung
jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan.
Bentuk pertanggungjawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari
jenis organisasi yang bersangkutan.
9.
Visi Strategis.
Para pemimpin dan
masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata
pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja
yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga
harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang
menjadi dasar bagi perspektif tersebut.
UNDP memberikan beberapa
karekteristik pelaksanaan good goverance, meliputi:
·Participation, keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik
secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan
aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan
berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
·Rule of law, kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang
bulu.
·Tranparancy, transparansi dibangun atas dasar kebebbasan memperoleh
informasi. Informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung
dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan.
·Responsiveness, lembaga-lembaga publik harus cepat dan tanggap dalam
melayani stake holders.
·Concensus orientation, berorientasi pada kepentingan masyarakat luas
·Equity,
setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperleh kesejahteraan
dan keadilian.
·Efficiency dan effectiveness, pengelolaan sumber daya publik
dilakukan secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif).
·Accountbility, pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas
yang dilakukan.
·Strategic vision, penyelenggaraan pemerintahan dan masyarakat memiliki visi
jauh ke depan.
Dari apa yang telah diuraikan di
atas, jelaslah posisi strategis biriokrasi dalam mewujudkan good governance
yang merupakan suatu conditio sine a qu non bagi keberhasilan
pembangunan. Karenanya profesionalisme birokrasi merupakan persayaratan (prerequiste)
mutlak untuk dapat mewujudkan good governance tadi.
C.
Asas
– asas Good Governance
Asas
reformasi birokrasi yang dikenal dengan istilah prinsip good governance,
sebagai berikut:
- Asas Kepastian Hukum, adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan per-UU-an, kepatuhan dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara.
- Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian Penyelenggara Negara;
- Asas Kepentingan Umum, adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum daripada kepentingan individu atau kelompok dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif.
- Asas Keterbukaan, adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yg benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara.
- Asas Proporsionalitas, adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.
- Asas Profesionalitas, adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kompetensi, kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Asas Akuntabilitas, adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai ketentuan peraturan per-UU-an yang berlakut.
- Asas Efektifitas, adalah asas yang berorientasi pada tujuan yang tepat guna dan berdaya guna.
- Asas Efisiensi, adalah asas yang berorientasi pada minimalisasi penggunaan sumber daya untuk mencapai hasil kerja yang terbaik.
D.
Penerapan Prinsip Good Governance
pada Sektor Publik
Di dalam berbagai analisis dikemukakan, ada keterkaitan
antara krisis ekonomi, krisis finansial dan krisis yang berkepanjangan di berbagai negara
dengan lemahya corporate
governance.
Corporate governance adalah seperangkat
tata hubungan diantara manajemen, direksi, dewan komisaris, pemegang saham dan
para pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya yang mengatur dan mengarahkan
kegiatan perusahaan (OECD, 2004).
Good Corporate Governance (GCG)
diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup perusahaan melalui pengelolaan yang
didasarkan pada asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi
serta kewajaran dan kesetaraan.
Di tahun 2007 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan PT Multi Utama
Indojasa melaksanakan kegiatan studi Implementasi Good Corporate Governance (GCG) di Sektor swasta, BUMN dan
BUMD.
Studi ini ditujukan untuk memperoleh
gambaran awal (baseline) yang komprehensif tentang pelaksanaan prinsip-prinsip
GCG di Sektor swasta, BUMN dan
BUMD di Indonesia yang dari waktu ke waktu bisa digunakan sebagai data
pembanding dengan kondisi di masa depan.
Studi dilakukan dengan 3 (tiga) metode,
yaitu (1) penyebaran kuesioner kepada responden, (2) wawancara mendalam dengan
pimpinan perusahaan yang menangani implementasi GCG, dan (3) penelusuran
dokumen perusahaan. Perusahaan yang terlibat dalam studi ini adalah 66 perusahaan,
yang terdiri dari 37 perusahaan swasta yang sudah go public, 17 perusahaan BUMN (12
diantaranya sudah go public), dan 12 perusahaan BUMD. Dari setiap perusahaan,
diambil sekitar 27 responden, mulai dari Preskom hingga karyawan
non-manajerial, serta pihak-pihak eksternal dari perusahaan seperti pelanggan,
pemasok, perusahaan asuransi, auditor eksternal, investor institusi, lembaga
pembiayaan dan perusahaan afiliasi.
Data dari kuesioner diolah dan
dianalisis secara kuantitatif, sedangkan hasil wawancara mendalam dan
penelusuran dokumen diolah dan dianalisis secara kualitatif. Analisis
implementasi GCG dilakukan dengan mengukur implementasi berdasarkan
prinsip-prinsip GCG yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas,
independensi, dan fairness, serta berdasarkan kerangka kerja GCG yaitu
compliance, conformance, dan performance. Selain itu, secara khusus dilihat
aspek code of conduct, pencegahan korupsi dan disclosure.
Dari hasil studi diketahui bahwa secara
umum implementasi GCG pada perusahaan-perusahaan yang menjadi responden sudah
sangat baik. Hal ini dapat dilihat dari Indeks GCG yang didapat, baik
berdasarkan prinsip-prinsip GCG yang mencapai angka 88,89 maupun berdasarkan
kerangka kerja implementasi GCG (compliance, conformance dan performance) yang
mencapai 90,41. Demikian juga untuk aspek code of conduct, pencegahan korupsi,
dan disclosure.
Hal ini berarti secara rata-rata,
hampir 90% dari prinsip-prinsip GCG sudah dilaksanakan oleh perusahaan
responden. Dari prinsip-prinsip GCG, ada satu prinsip yang relatif lemah yaitu
responsibilitas. Lemahnya implementasi prinsip ini berkenaan dengan masih
lemahnya implementasi dalam pembentukan komite-komite fungsional di bawah
Komisaris.
Sebagian perusahaan responden hanya memiliki
Komite Audit, Komite Nominasi dan Remunerasi serta Komite Manajemen Resiko,
sedangkan komite-komite lainnya seperti Komite Asuransi, Komite Kepatuhan,
Komite Eksekutif, dan Komite GCG, masih banyak yang belum memilikinya. Adapun
prinsip yang sudah relatif kuat adalah prinsip transparansi dan fairness.
Ini menunjukkan perusahaan telah
berupaya untuk lebih transparan dan fair kepada stakeholder. Jika dilihat
berdasarkan kerangka kerja GCG, aspek yang masih lemah adalah aspek compliance
pada sisi Board dan conformance pada sisi Karyawan. Pada sisi Board,
kelemahannya selain pada pembentukan komite-komite, juga pada implementasi
pencegahan benturan kepentingan, dan peningkatan kerjasama dengan penegak
hukum.
Sedangkan pada sisi karyawan, berkaitan
dengan penandatanganan pernyataan kepatuhan kepada Pedoman Perilaku dan
Peraturan Perusahaan. Indeks code of conduct adalah 88,77. Artinya secara umum
perusahaan telah memiliki code of conduct dan telah memuat beberapa hal yang
berkaitan dengan implementasi prinsip-prinsip GCG. Namun yang masih perlu
diperbaiki dalam code of conduct ini adalah sosialisasi kepada pihak eksternal
seperti pelanggan, pemasok dan perusahaan asuransi.
Indeks pencegahan korupsi adalah 89,39,
yang berarti sudah cukup baik. Namun beberapa hal yang perlu didorong adalah
pengawasan terhadap pelaksanaan dari tindakan yang berpotensi terhadap
terjadinya benturan kepentingan.
Selain itu, masih belum adanya
kerjasama antara perusahaan dengan lembaga penegak hukum dalam mengembangkan
sistem pencegahan korupsi. Indeks untuk disclosure ini adalah 92,42. Aspek ini
termasuk yang menonjol dan menjadi perhatian utama dari responden, terutama
bagi perusahaan yang sudah go public.
Aspek ini menjadi sangat diprioritaskan
oleh perusahaan karena kinerja pada aspek ini dapat dinilai dan dirasakan oleh
pihak luar. Untuk analisis, perusahaan responden dibagi dalam 4 (empat)
kelompok, yaitu BUMN/BUMD Lembaga Keuangan, BUMN/BUMD Non Lembaga Keuangan,
Swasta Lembaga Keuangan, dan
Swasta Non Lembaga Keuangan.
Pembagian ini untuk memudahkan analisis
serta agar perbandingan antar perusahaan dapat dilakukan lebih fair. Hasil
studi menunjukkan bahwa swasta lembaga
keuangan memiliki indeks yang paling tinggi dibanding kelompok yang lain, baik
berdasarkan prinsip-prinsip GCG maupun berdasarkan compliance, conformance, dan
performance. Selain itu, kelompok ini juga memiliki indeks yang paling tinggi
untuk code of conduct dan pencegahan korupsi.
Namun untuk disclosure, indeks
tertinggi diraih kelompok swasta non
lembaga keuangan. Secara umum implementasi di perusahaan yang bergerak di sektor keuangan, baik
perusahaan swasta BUMN/BUMD lebih baik dibanding perusahaan non lembaga
keuangan. Selain itu, implementasi di perusahaan yang swasta lebih baik dibanding BUMN/BUMD.
Demikian pula, perusahaan yang sudah
terbuka (go public) lebih baik dibanding perusahaan yang belum go public.
Berdasarkan kerangka kerja GCG, aspek compliance cukup lemah pada kelompok
perusahaan non lembaga keuangan. Hal ini dikarenakan oleh banyaknya perusahaan
yang belum melengkapi komite-komite fungsionalnya.
Selain itu, masih kurangnya tindakan
komisaris terhadap (potensi) benturan kepentingan yang menyangkut dirinya.
Sebaliknya, aspek-aspek tersebut sangat diperhatikan oleh perusahaan-perusahaan
yang bergerak di sektor keuangan, sehingga lembaga keuangan lebih patuh
dibanding perusahaan non lembaga keuangan. Sebagai rekomendasi, untuk
meningkatkan kualitas implementasi GCG, perusahaan-perusahaan perlu didorong
untuk lebih patuh dalam membentuk berbagai komite fungsional yang diperlukan
dalam penerapan GCG.
Lembaga-lembaga yang berfungsi mengawasi dan
membina seperti Bank Indonesia, Menneg BUMN dan Bapepam LK agar lebih proaktif
dalam mengawasi implementasi GCG terutama berkaitan dengan potensi terjadinya
benturan kepentingan.
Selain itu, perlu diterbitkan peraturan
yang dapat memaksa perusahaan sawsta yang belum terbuka dan BUMD untuk
menerapkan GCG. Implementasi
Good Goverment dan Clean Goverment pada institusi pemerintah terutama yang
berkaitan dengan pelayanan publik seperti Ditjen Pajak, Bea Cukai, Imigrasi,
BPN, Institusi yang mengeluarkan perizinan, dan institusi penegak hukum.
Hal ini untuk mendorong badan usaha
lebih konsisten dalam menerapkan GCG serta untuk menciptakan iklam usaha yang
lebih sehat, kondusif dan kompetitif. Dalam rangka meningkatkan kerjasama
perusahaan dengan lembaga penegak hukum dalam upaya pencegahan korupsi,
diperlukan rumusan bentuk dan metode kerjasama yang dapat dilakukan dan
mendorong perusahaan untuk melakukan kerjasama dengan lembaga penegak hukum.
Perlu adanya sosialisasi yang intensif
tentang pedoman umum GCG, penyusunan code of conduct, kaitan GCG dengan
pencegahan korupsi, dan best practises dalam penerapan GCG melalui berbagai media.
E.
Struktur Organisasi dan Manajemen Perubahan dalam Good Governance
Menurut Lukman Hakim Saifuddin, (2004) good governance
(G) di Indonesia adalah penyelenggaraan peerintahan yang baik yang dapat
diartikan sebagai suatu mekanisme pengelolaan sumber daya dengan substansi dan
implementasi yang diarahkan untuk mencapai pembangunan yang efisien dan efektif
secara adil.
Oleh karena itu, good governance akan tercipta di
antara unsur-unsur negara dan institusi kemasyarakatan (ormas, LSM, pers,
lembaga profesi, lembaga usaha swasta, dan lain-lain) memiliki keseimbangan
dalam proses checks and balances dan tidak boleh satu pun di antara
mereka yang memiliki kontrol absolute.
Pengembangan publil good governance di Indonesia akan
menunjuk pada sekumpulan nilai (cluster of values), yang notabane sudah
lama hidup dan berkembang di masyarakat Indonesia. Sekumpulan nilai yang
dimaksud tersebut adalah 11 (sebelas) nilai good governance yakni (1) check
and balances, (2) decentralization; (3) effectiveness; (4) efficiency,
(5) equity, (6) human rights protection, (7) integrity,
(8) participation, (9) pluralism, (10) predictability,
(11) rule of law, dan (12) transparency.
Pertanyaan yang muncul kemudian dalam implementasinya adalah
bagaimana mendekati, mengidentifikasi, mengurai, dan mengupayakan pemecahan
persoalan penegakan good governance. Menurut Lukman Hakim, ada tiga
faktor determinan pencapaian good governance, yakni lembaga atau pranata
(institutions/system), sumber daya manusia (human factor), dan
budaya (cultures).
Terkait dengan tiga faktor determinan tersebut, pada subbab
ini akan dibahas tentang lembaga atau pranata, budaya dan sumber daya manusia
dalam dua bagian, yaitu struktur organisasi dalam good governance dan
manajemen perubahan yang diperlukan oleh organisasi.
1. Struktur Organisasi dalam
Good Governance
Globalisasi dan perkambangan informasi akan mempercepat
perubahan organisasi. Menurut Tulis (2000), perubahan terhadap sumber daya
manusia sebesar 10 persen saja dapat mengubah struktur organisasi, selain
perubahan ang disebabkan faktor teknologi, ekonomi, politik, dan sosial.
Praktik manajemen
yang lama baik menyangkut struktur organisasi, personel, dan tugas pokok, akan
menyebabkan resistensi terhadap perubahan dan menyebabkan sulitnya melakukan
restrukturisasi organisasi dalam rangka mencapai efisiensi. Dalam rangka
menghadapi perubahan yang begitu cepat, maka beberapa hal yang penting
dilakukan adalah :
a. Memelihara kesadaran yang tinggi akan
urgensi
Perubahan besar dalam organisasi, baik struktur dan budaya
tidak akan pernah sukses bila organisasi tersebut cepat puas. Kesadaran tinggi
akan tingkat urgensi yaitu memahami hak yang mendesak dan menempatkannya
sebagai prioritas dalam menghadapinya, sangat membantu proses mengatasi masalah
dan langkah perubahan yang besar. Peningkatan fungsi organisasi akan
menyebabkan tingginya tingkat organisasi.
Untuk memelihara urgensi tingkat tinggi maka diperlukan
sistem informasi manajemen yang menyangkut sistem informasi akuntansi, untuk
keuangan, sistem informasi sumber daya manusia (SDM) untuk mengukur kinerja
SDM, dan sistem informasi lain yang diperlukan oleh organisasi. Sistem
informasi ini akan menjamin kecermatan dan kejelian data, sehingga data yang
digunakan untuk pengambilan keputusan yang valid.
b. Penyusunan pranata organisasi
Misi dan tujuan setiap organisasi sektor publik adalah
memuaskan para pihak yang berkepentingan dengan pelayanan publik serta
melestarikan tingkat kepuasan masyarakat. Tanangan untuk mencapai kepuasan
adalah melalui mutu pelayanan yang prima atas pelayanan dan kepercayaan publik.
Permasalahan dalam
peningkatan mutu ini pada birokrasi terkendala dengan sumber informasi yang
terbatas, tingkat pengetahuan aparat yang tidak memadai, budaya birokrasi, dan
pengambilan keputusan yang tidak efektif karena delegasi wewenang yang tidak
optimal serta tidak adanya insentif dan berkorelasi dengan sistem penggajian.
Permasalahan dalam penyusunan pranata organisasi adalah
masalah keagenan, yaitu kebijaksanaan yang salah dan berjalan terus-menrus,
program yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, serta pekerjaan yang
tidak berkonstruksi terhadap pencapaian tujuan organisasi.
Singkatnya, tantangan utama dalam mendesain dan pengembangan
pranata organisasi pemerintah dan sistem nasional adalah mengoptimalkan
informasi pengambilan keputusan serta menciptakan sistem penggajian yang
sepadan dengan kinerja. Perbaikan sistem informasi dan sistem penggajian
berbasis kinerja ini akan meningkatkan mutu layanan dan kepercayaan publik.
c.
Perubahan Struktur Organisasi
Perubahan kondisi pasar, teknologi, sistem sosial, regulasi,
dan pelaksanaan Good Governance dapat memengaruhi struktur pengembangan
organisasi. Untuk perubahan struktur organisasi perlu dilakukan analisis biaya
dan manfaat terhadap pengaruh pelayanan public terhadap organisasi melalui
perubahan yang bersifat strategis.
Perubahan struktur organisasi mencakup tiga unsur sebagai
determinan, yaitu: (a) sistem pendapatan wewenang, tugas pokok, fungsi dan
tanggung jawab, (b) sistem balas jasa yang sepadan, dan (c) sistem evaluasi
indikator atau pengukuran kinerja untuk individu dan unit organisasi.
Masalah
utama dalam perubahan struktur organisasi adalah meyakinkan diri bahwa
pengambilan keputusan dan akuntabilitas semua pihak yang berkepentingan
terhadap organisasi mempunyai informasi dan pengetahuan yang relevan mengambil
keputusan yang baik dan benar serta adanya insentif sepadan yang menggunakan
informasi secara produktif dan terpercaya.
Perubahan
lingkungan yang berpengaruh terhadap perubahan struktur organisasi,
biaya, dan manfaat langsung maupun tidak langsung harus dianalisis secara
cermat dan hati-hati.
Perubahan struktur organisasi
sebelum GG dan sesudah GG
Sebelum
GG
|
Sesudah
GG
|
Struktur
bersifat :
1. Birokratik,
2. Multilevel
3. Disorganisasi dengan manajemen
4. Kebijakan, program, dan prosedur ruwet
|
Struktur
bersifat :
1. Nonbirokratik, sedikit aturan
2. Lebih sedikit level
3. Manajemen berfungsi baik
4. Kebijakan, program dan prosedur sederhana, tidak
menimbulkan ketergantungan
|
Sistem
:
1. Tergantung pada beberapa sistem informasi kinerja
2. Distribusi informasi terbatas pada eksekutif
3. Pelatihan manajemen hanya pada karyawan senior
|
Sistem
:
1. Tergantung pada sistem informasi kinerja
2. Distribusi informasi luas,
3. Memberikan pelatihan kepada karyawan yang
membutuhkan
|
Budaya
Organisasi :
1. Orientasi ke dalam
2. Tersentralisasi
3. Lambat dalam pengambilan keputusan
4. Realistis-idiologi
5. Kurang berani mengambil keputusan
|
Budaya
Organisasi :
1. Orientasi ke luar
2. Memberdayakan sumber daya
3. Pengambilan keputusan cepat
4. Terbuka dan berintegrasi
5. Berani mengambil risiko
|
Dalam
rangka pelaksanaan GG, makia organisasi modern dapat melakukan :
1.
Kesadaran yang tinggi terhadap tingkat urgensi
2.
Kerja sama tim yang baik dalam tatanan staf dan manajemen
3.
Bisa menciptakan dan mengomunikasikan visi, misi, dan program dengan baik
4.
Pemberdayaan semua karyawan dengan memerhatikan minat dan bakat
5.
Memberikan delegasi wewenang dengan efektif
6.
Mengurangi ketergantungan yang tidak perlu, dan
7.
Mengembangkan budaya organisasi yang adaptif dan penggunaan analisis kinerja
2.
Manajemen Perubahan
Sesuai dengan pertimbangan TAP MPR RI Nomor II/MPR/1999,
masalah krisis multidimensi yang melanda negara Indonesia merupakan penghambat
perwujudan cita-cita dan tujuan nasional. Reformasi di segala bidang,
diharapkan dapat menjadi suatu langkah penyelamatan, pemulihan, pemantapan dan
pengembangan pembangunan serta penguatan kepercayaan diri
Kemampuan para pemimpin penyelenggara pemerintahan dan
masyarakat yang mengelola perubahan menjadi sangat krisis dan strategis,
terutama sensitifitas dan responsibilitas terhadap tanda dan waktu perubahan
tersebut diperlukan, khususnya dalam langkah penyelamatan, pemulihan, dan
pengembangan. Ada dua hal yang perlu ditekankan dalam manajemen perubahan,
yaitu mengapa ada perubahan yang berhasil dan ada yang gagal?
Perubahan yang gagal disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :
a. Terlalu cepat puas
b. Team work yang gagal
c. Merumuskan visi, misi, dan program
dengan kurang tepat
d. Gagal menciptakan harapan sukses kepada
seluruh anggota organisasi
e. Menganggap perubahan sudah selesai dan
hanya sekali memerlukan perubahan, dan
f. Tidak bisa mengubah symbol,
nilai, sikap dan norma organisasi dari yang lama menjadi budaya yang baru dalam
organisasi.
Untuk mengurangi kegagalan dalam perubahan budaya
organisasi, maka harus dihilangkan atau dikurangi dampak negatif dari perubahan
seperti bubarnya organisasi, kehilangan pasar dan kepuasaan pelanggan,
penurunan gaji dan harus dikikis dengan menjelaskan mengapa organisasi perlu
mengadakan perubahan, bagaimana tahap perubahan, bagaimana hasil akhir dari
perubahan, dan bagaimana peran serta dari setiap anggota organisasi dalam
perubahan. Untuk mencapai keberhasilan dalam perubahan, ada beberapa hal yang
diperlukan, yaitu :
1. Menetapkan strategi, pentingnya, dan
tahapan perubahan
2. Mengembangkan semangat kerja sama tim
yang tinggi
3.
Mengembangkan strategi komunikasi untuk menyampaikan visi, misi, program
perubahan, sehingga anggota dapat termotivasi, dan
4.
Memberdayakan setiap anggota organisasi sesuai dengan kompetensi minat, dan
bakat.
F.
Good Governance dalam Kerangka Otonomi Daerah
Upaya pelaksanaan tata pemerintahan yang baik, UU No 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan salah salu instrumen yang
merefleksikan keinginan Pemerintah unluk melaksanakan tata pemerintahan yang
baik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal ini dapat dilihat dari
indikator upaya penegakan hukum, transparansi dan penciptaan partisipasi. Dalam
hal penegakan hukum, UU No. 32 Tahun 2004 telah mengatur secara tegas upaya
hukum bagi para penyelenggara pemerintahan daerah yang diindikasikan melakukan
penyimpangan.
Dari sistem penyelenggaraan pemerintahan sekurang-kurangnya
terdapat 7 elemen penyelenggaraan pemerintahan yang saling mendukung tergantung
dari bersinergi satu sarna lainnya, yaitu :
1.
Urusan Pemerintahan;
2.
Kelembagaan;
3
Personil;
4.
Keuangan;
5.
Perwakilan;
6.
Pelayanan Publik dari
7.
Pengawasan.
Ketujuh elemen di atas merupakan elemen dasar yang akan
ditata dari dikembangkan serta direvitalisasi dalam koridor UU No. 32 Tahun
2004. Namun disamping penataan terhadap tujuan elemen dasar diatas, terdapat
juga hal-hal yang bersifat kondisional yang akan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari grand strategi yang merupakan kebutuhan nyata dalam rangka
penataan otonomi daerah di Indonesia secara keseluruhan yaitu penataan Otonomi
Khusus NAD
dari
Papua, penataan daerah dari wilayah perbatasan , serta pemberdayaan masyarakat.
Setiap elemen tersebut disusun penataannya dengan
langkah-langkah menyusun target ideal yang harus dicapai, memotret kondisi
senyatanya dari mengidentifikasi gap yang ada antara target yang ingin dicapai
dibandingkan kondisi rill yang ada saat ini.
Meskipun dalam pencapaian Good Governance rakyat sangat
berperan, dalam pembentukan peraturan rakyat mempunyai hak untuk menyampaikan
aspirasi, namun peran negara sebagai organisasi yang bertujuan mensejahterakan
rakyat tetap menjadi prioritas. Untuk menghindari kesenjangan didalam
masyarakat pemerinah mempunyai peran yang sangat penting.
Kebijakan publik banyak dibuat dengan menafikan faktor
rakyat yang menjadi dasar absahnya sebuahnegara. UU no 32 tahun 2004 yang memberikan
hak otonami kepada daerah juga menjadi salah satu bentuk bahwa rakyat diberi
kewenangan untuk mengatur dan menentukan arah perkembangan daerahnya sendiri.
Dari pemilihan kepala
daerah, perimbangan keuangan pusat dan daerah (UU no 25 tahun 1999). Peraturan
daerah pun telah masuk dalam Tata urutan peraturan perundang - undangan
nasional (UU no 10 tahun 2004), Pengawasan oleh masyarakat.
Sementara itu dalam upaya mewujudkan transparansi dalam
penyelenggaran pemerintahan diatur dalam Pasa127 ayat (2), yang menegaskan
bahwa sistem akuntabilitas dilaksanakan dengan kewajiban Kepala Daerah untuk
memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintahan, dan
memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan
laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.
Sistem akuntabilitas semacam ini maka terdapat keuntungan
yang dapat diperoleh yakni, akuntabilitas lebih dapat terukur tidak hanya
dilihat dari sudut pandang politis semata. Hal ini merupakan antitesis sistem
akuntabilitas dalam UU No. 22 Tahun 1999 dimana penilaian terhadap laporan
pertanggungjawaban kepala daerah oleh DPRD seringkali tidak berdasarkan pada
indikator-indikator yang tidak jelas.
Karena akuntabilitas didasarkan pada indikator kinerja yang
terukur,maka laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak
mempunyai
dampak
politis ditolak atau diterima. Dengan demikian maka stabilitas
penyelenggaraanpemerintahan daerah dapat lebih terjaga.
Masyarakat memiliki hak untuk melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pelaksanaan pengawasan oleh masyarakat
dapat dilakukan oleh masyarakat sebagai perorangan, kelompok maupun organisasi
dengan cara: Pemberian informasi adanya indikasi terjadinya korupsi, kolusi
atau nepotisme di lingkungan pemerintah daerah maupun DPRD. Penyampaian
pendapat dan saran mengenai perbaikan, penyempurnaan baik preventif maupun
represif atas masalah.
Informasi dan pendapat tersebut disampaikan kepada pejabat
yang berwenang dan atau instansi yang terkait. Menurut Pasal 16 Keppres No. 74
Tahun 2001, masyarakat berhak memperoleh informasi perkembangan penyelesaian
masalah yang diadukan kepada pejabat yang berwenang. Pasal tersebut berusaha
untuk memberikan kekuatan kepada masyarakat dalam menjalankan pengawasan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian–uraian dari bab–bab sebelumnya maka
penulis mengambil kesimpulan yaitu:
1.
Pemerintahan
yang baik tidak di lihat dari sistem yang berbuat atau rancanggan undang-undang
yang di rumuskan, melainkan suatu sikap yang pasti dalam menangani suatu
permasalahn tanpa memandang siapa serta mengapa hal tersebut harus di lakukan.
2.
Good Governance merupakan pengertian dalam hal yang luas sehingga untuk
memberikan arti serta defenisi tidak semudah mengartikan kata perkata melainkan
perlunya aspek –aspek serta pemikiran yang luas menyangkut bidang tersebut.
3.
Perlunya
pengertian menggenai aspek-aspek dalam Good Governance sehingga tidak ada kesalahan dalam
aplikasinya.
4.
Penerapan Good Governance dalam sistem
kepemerintahan saat ini sangat di perlukan karena peranan perintah dalam
memajukan suatu negara sangatlah besar.
B.
Saran
Atas kesimpulan di atas, penulis
mengemukakan beberapa saran untuk membenahi kelemahan-kelemahan dalam
penegakkan prinsip good governance di Indonesia yaitu:
1.
Integritas dan nilai etika perlu
ditingkatkan atau dikomunikasikan dengan perilaku yang terbaik dan melibatkan
pihak terkait. Karena sebaik apapun desain sebuah pengawasan tidak akan
terlaksana dengan efektif, efisien dan ekonomis jika dilaksanakan oleh
orang-orang yang memiliki integritas dan nilai etika yang rendah.
2.
Kinerja
Inspektorat atau pengendalian intern perlu terus ditingkatkan meskipun penulis
mengusulkan sektor publik, namun itu bukan berarti mengabaikan sektor
pengawasan intern.