Minggu, 20 Januari 2013

Good Governance





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam dunia pendidikan yang telah mengalami banyak kemajuan baik secara sistem maupun aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat mengubah kepribadian serta pemikiran masyarakat secara global. Peran pemerintah tentunya sangat besar dalam memajukan suatu sistem dalam dunnia pendidikan. Di mana pada umumnya tujuan pendidikan adalah sebagai lembaga pengembangan, pembaharuan, dan penjamin mutu pendidikan, pelatihan tenaga kependidikan dan masyarakat yang profesional, bernuansa lingkkungan yang sehat untuk mampu bersaning di pasar bebas dan global.

Untuk itu peran pemerintah dakam memajukan pendidikan merupakan suatu garda terdepan yang harus difungsikan. Tentunya dalam hal ini pemerintah yang baik menjadi pondasi awal untuk kemajuan di segala bidang. Sehingga dalam aplikasinya pengertian, pemahaam serta pembahasan dari GOODGOVERNANCE dirasa layak untuk didiskusikan secara menyeluruh agar para mahasiswa dapat mengetahui dan mencari solusi dari suatu permasalahan tanpa ada saling menyalahkan ataupun memojokkan suatu golongan atau ormas yang ada.

B.     Tujuan
Pemerintah yang baik ialah pemerintahan yang mementingkan kebutuhan masyarakat lebih utama dibandingkan kebutuhan yang ada lainnya. Untuk mencapai kata mufakat atau rasa kebersamaan yang ada dalam sebuah diskusi bukanlah hal yang mudah untuk dicapai dan diraih. Dalam hal ini peran individu yang sabar, berpikiran luas serta bebas dan juga memiliki sifat visioner sangat diperlukan.
 Untuk itu dalam hal ini pembuatan makalah atau sebuah karya tulis dengan judul “GOODGOVERNANCE” penulis bertujuan agar para pembaca dapat mengetahui segala permasalahan yang ada disekitar pemerintahan dan mencari solusi untuk memecahkan masalah tersebut. Dalam aplikasinya sifat supervise sangat diperlukan untuk mencari solusi tanpa ada kontroversi yang menjalar disegala bidang.

BAB II
PEMBAHASAN

A.Pengertian Good   Governance
        Terminology “good” dalam istilah good governance mengandung dua pengertian. Pertama: nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional), kemadirian, pembangunan berkelanjutan, dan keadilan sosial.  Kedua : aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
        United Nations Development Program ( UNDP ) dalam dokumen kebijakannya yang berjudul “Governance for sustainable Humas Development “(1977) yang artinya (kepemimpinan adalah pelaksanaan kewenangan atau kekuasaan dalam bidang ekonomi, politik, dan administrative untuk mengelola berbagai urusan negara pada setiap tingkatannya dan merupakan instrument kebijakan negara untuk mendorong terciptanya kondisi kesejahteraan integritas dan kohesitas      social   dalam  masyarakat).
        Berdasarkan pengertian tersebut, kepemerintahan yang baik berorientasi pada 2 (dua) hal, yaitu:
      Orientasi          Ideal    Negara
        Yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional, yaitu mengacu pada demoratis dengan elemen: legitimacy, accountability, otonomi dan devolusi (pendelegasian wewenang) kekuasaan kepada daerah dan adanya mekanisme control oleh masyarakat
      Pemerintahan  yang    Befungsi          secara  Ideal
        Yaitu secara efektif dan efisien melakukan upaya pencapaian tujuan nasional. Hal ini tergantung pada sejauh mana pemerintah memiliki kompetensi, struktur dan mekanisme politik serta administrative yang berfungsi secara efektif dan efisien.
       


Berikut ini adalah beberapa pendapat atau pandangan tentang wujud kepemerintahan yang baik (good  governance),          yaitu:
      World  Bank    (2000)
        Good governance adalah suatu penyelenggaaan manajemen pemerintahan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi korupsi, baik secara politik maupun administrative, menjalankan disiplin anggaran penciptaan legal dan political framework bagi tumbuhnya        aktifitas           swasta.
      UNDP
        Memberikan pengertian Good Governance sebagai suatu hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara Negara, sektor swasta dan  masyarakat
      Peraturan         Pemerintah      No.      101      Tahun  2000
        Kepemerintahan yang baik adalah kepemerintahan yang mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip prifesionalitas, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektifitas, supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyrakat
      Modul                        Sosialisasi        AKIP  (LAN&BPKP2000)
        Good Governance merupakan proses penyelenggaraan kekuasaan Negara; oleh sebab itu, melaksanakan penyediaan Public goods dan services. Good Governance yang efektif menuntut adanya “alignment “ (koordinasi) yang baik dan integritas, profesionalisme serta etos kerja dan moral yang tinggi. Agar kepemerintahan yang baik menjadi realitas dan berhasil diwujudkan, diperlukan komitmen dari semua pihak, pemerintah, dan masyrakat.

        Dari beberapa pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa Good Governance bersenyawa dengan system administrative Negara, maka upaya untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik merupakan upaya melakukan penyempurnaan system administrasi Negara yang berlaku pada suatu Negara secara menyeluruh. Dalam kaitan dengan ini Bagir Manan menyatakan bahwa “sangat wajar apabila tuntutan penyelenggaraan pemerintahan yang baik terutama ditujukan pada pembaruan administrasi Negara dan pembaruan penegakan hukum”. Hal ini dikemukakan karena dalam hubungan dengan pelayanan dan perlindungan rakyat ada dua cabang pemerintahan yang berhubungan langsung dengan rakyat, yaitu administrasi Negara dan penegak hukum.
B.        Prinsip–prinsip          Good   Governance
        Good governance, menurut Masyarakat Transparansi Indonesia, merupakan upaya pengelolaan pemerintahan yang baik dengan mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai prinsip dasar good governance.  Adapun prinsip dasar good governance tersebut adalah:
1.         Partisipasi masyarakat.
  Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan yang sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif.
2.         Tegaknya supremasi hukum.
  Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.
3.         Transparansi.
  Transparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.
4.         Peduli pada stakeholder.
  Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan.
5.         Berorientasi pada konsensus.
  Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.
6.         Kesetaraan.
  Semua warga masyarakat mempuntai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.
7.         Efektivitas dan efisiensi.
  Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan n menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.

8.         Akuntabilitas.
  Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggungjawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan.
9.         Visi Strategis.
  Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.
UNDP memberikan beberapa karekteristik pelaksanaan good goverance, meliputi:
·Participation, keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
·Rule of law, kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu.
·Tranparancy, transparansi dibangun atas dasar kebebbasan memperoleh informasi. Informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan.
·Responsiveness, lembaga-lembaga publik harus cepat dan tanggap dalam melayani stake holders.
·Concensus orientation, berorientasi pada kepentingan masyarakat luas
·Equity, setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperleh kesejahteraan dan keadilian.
·Efficiency dan effectiveness, pengelolaan sumber daya publik dilakukan secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif).
·Accountbility, pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas yang dilakukan.
·Strategic vision, penyelenggaraan pemerintahan dan masyarakat memiliki visi jauh ke depan.
Dari apa yang telah diuraikan di atas, jelaslah posisi strategis biriokrasi dalam mewujudkan good governance yang merupakan suatu conditio sine a qu non bagi keberhasilan pembangunan. Karenanya profesionalisme birokrasi merupakan persayaratan (prerequiste) mutlak untuk dapat mewujudkan good governance tadi.
C.    Asas – asas Good Governance
Asas reformasi birokrasi yang dikenal dengan istilah prinsip good governance, sebagai berikut:
  1.  Asas Kepastian Hukum, adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan per-UU-an, kepatuhan dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara.
  2.  Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian Penyelenggara Negara; 
  3. Asas Kepentingan Umum, adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum daripada kepentingan individu atau kelompok dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif. 
  4. Asas Keterbukaan, adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yg benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara. 
  5. Asas Proporsionalitas, adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan  kewajiban Penyelenggara Negara.
  6.  Asas Profesionalitas, adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kompetensi, kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
  7. Asas Akuntabilitas, adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai ketentuan peraturan per-UU-an yang berlakut.
  8.  Asas Efektifitas, adalah asas yang berorientasi pada tujuan yang tepat guna dan berdaya guna.
  9. Asas Efisiensi, adalah asas yang berorientasi pada minimalisasi penggunaan sumber daya untuk mencapai hasil kerja yang terbaik.
D.      Penerapan Prinsip Good Governance pada Sektor Publik
Di dalam berbagai analisis dikemukakan, ada keterkaitan antara krisis ekonomi, krisis finansial dan krisis yang berkepanjangan di berbagai negara dengan lemahya corporate governance.
Corporate governance adalah seperangkat tata hubungan diantara manajemen, direksi, dewan komisaris, pemegang saham dan para pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya yang mengatur dan mengarahkan kegiatan perusahaan (OECD, 2004).
Good Corporate Governance (GCG) diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup perusahaan melalui pengelolaan yang didasarkan pada asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta kewajaran dan kesetaraan. Di tahun 2007 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan PT Multi Utama Indojasa melaksanakan kegiatan studi Implementasi Good Corporate Governance (GCG) di Sektor swasta, BUMN dan BUMD.
Studi ini ditujukan untuk memperoleh gambaran awal (baseline) yang komprehensif tentang pelaksanaan prinsip-prinsip GCG di Sektor swasta, BUMN dan BUMD di Indonesia yang dari waktu ke waktu bisa digunakan sebagai data pembanding dengan kondisi di masa depan.
Studi dilakukan dengan 3 (tiga) metode, yaitu (1) penyebaran kuesioner kepada responden, (2) wawancara mendalam dengan pimpinan perusahaan yang menangani implementasi GCG, dan (3) penelusuran dokumen perusahaan. Perusahaan yang terlibat dalam studi ini adalah 66 perusahaan, yang terdiri dari 37 perusahaan swasta yang sudah go public, 17 perusahaan BUMN (12 diantaranya sudah go public), dan 12 perusahaan BUMD. Dari setiap perusahaan, diambil sekitar 27 responden, mulai dari Preskom hingga karyawan non-manajerial, serta pihak-pihak eksternal dari perusahaan seperti pelanggan, pemasok, perusahaan asuransi, auditor eksternal, investor institusi, lembaga pembiayaan dan perusahaan afiliasi.
Data dari kuesioner diolah dan dianalisis secara kuantitatif, sedangkan hasil wawancara mendalam dan penelusuran dokumen diolah dan dianalisis secara kualitatif. Analisis implementasi GCG dilakukan dengan mengukur implementasi berdasarkan prinsip-prinsip GCG yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan fairness, serta berdasarkan kerangka kerja GCG yaitu compliance, conformance, dan performance. Selain itu, secara khusus dilihat aspek code of conduct, pencegahan korupsi dan disclosure.

Dari hasil studi diketahui bahwa secara umum implementasi GCG pada perusahaan-perusahaan yang menjadi responden sudah sangat baik. Hal ini dapat dilihat dari Indeks GCG yang didapat, baik berdasarkan prinsip-prinsip GCG yang mencapai angka 88,89 maupun berdasarkan kerangka kerja implementasi GCG (compliance, conformance dan performance) yang mencapai 90,41. Demikian juga untuk aspek code of conduct, pencegahan korupsi, dan disclosure.
Hal ini berarti secara rata-rata, hampir 90% dari prinsip-prinsip GCG sudah dilaksanakan oleh perusahaan responden. Dari prinsip-prinsip GCG, ada satu prinsip yang relatif lemah yaitu responsibilitas. Lemahnya implementasi prinsip ini berkenaan dengan masih lemahnya implementasi dalam pembentukan komite-komite fungsional di bawah Komisaris.
 Sebagian perusahaan responden hanya memiliki Komite Audit, Komite Nominasi dan Remunerasi serta Komite Manajemen Resiko, sedangkan komite-komite lainnya seperti Komite Asuransi, Komite Kepatuhan, Komite Eksekutif, dan Komite GCG, masih banyak yang belum memilikinya. Adapun prinsip yang sudah relatif kuat adalah prinsip transparansi dan fairness.
Ini menunjukkan perusahaan telah berupaya untuk lebih transparan dan fair kepada stakeholder. Jika dilihat berdasarkan kerangka kerja GCG, aspek yang masih lemah adalah aspek compliance pada sisi Board dan conformance pada sisi Karyawan. Pada sisi Board, kelemahannya selain pada pembentukan komite-komite, juga pada implementasi pencegahan benturan kepentingan, dan peningkatan kerjasama dengan penegak hukum.
Sedangkan pada sisi karyawan, berkaitan dengan penandatanganan pernyataan kepatuhan kepada Pedoman Perilaku dan Peraturan Perusahaan. Indeks code of conduct adalah 88,77. Artinya secara umum perusahaan telah memiliki code of conduct dan telah memuat beberapa hal yang berkaitan dengan implementasi prinsip-prinsip GCG. Namun yang masih perlu diperbaiki dalam code of conduct ini adalah sosialisasi kepada pihak eksternal seperti pelanggan, pemasok dan perusahaan asuransi.
Indeks pencegahan korupsi adalah 89,39, yang berarti sudah cukup baik. Namun beberapa hal yang perlu didorong adalah pengawasan terhadap pelaksanaan dari tindakan yang berpotensi terhadap terjadinya benturan kepentingan.



Selain itu, masih belum adanya kerjasama antara perusahaan dengan lembaga penegak hukum dalam mengembangkan sistem pencegahan korupsi. Indeks untuk disclosure ini adalah 92,42. Aspek ini termasuk yang menonjol dan menjadi perhatian utama dari responden, terutama bagi perusahaan yang sudah go public.
Aspek ini menjadi sangat diprioritaskan oleh perusahaan karena kinerja pada aspek ini dapat dinilai dan dirasakan oleh pihak luar. Untuk analisis, perusahaan responden dibagi dalam 4 (empat) kelompok, yaitu BUMN/BUMD Lembaga Keuangan, BUMN/BUMD Non Lembaga Keuangan, Swasta Lembaga Keuangan, dan Swasta Non Lembaga Keuangan.
Pembagian ini untuk memudahkan analisis serta agar perbandingan antar perusahaan dapat dilakukan lebih fair. Hasil studi menunjukkan bahwa swasta lembaga keuangan memiliki indeks yang paling tinggi dibanding kelompok yang lain, baik berdasarkan prinsip-prinsip GCG maupun berdasarkan compliance, conformance, dan performance. Selain itu, kelompok ini juga memiliki indeks yang paling tinggi untuk code of conduct dan pencegahan korupsi.
Namun untuk disclosure, indeks tertinggi diraih kelompok swasta non lembaga keuangan. Secara umum implementasi di perusahaan yang bergerak di sektor keuangan, baik perusahaan swasta BUMN/BUMD lebih baik dibanding perusahaan non lembaga keuangan. Selain itu, implementasi di perusahaan yang swasta lebih baik dibanding BUMN/BUMD.
Demikian pula, perusahaan yang sudah terbuka (go public) lebih baik dibanding perusahaan yang belum go public. Berdasarkan kerangka kerja GCG, aspek compliance cukup lemah pada kelompok perusahaan non lembaga keuangan. Hal ini dikarenakan oleh banyaknya perusahaan yang belum melengkapi komite-komite fungsionalnya.
Selain itu, masih kurangnya tindakan komisaris terhadap (potensi) benturan kepentingan yang menyangkut dirinya. Sebaliknya, aspek-aspek tersebut sangat diperhatikan oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor keuangan, sehingga lembaga keuangan lebih patuh dibanding perusahaan non lembaga keuangan. Sebagai rekomendasi, untuk meningkatkan kualitas implementasi GCG, perusahaan-perusahaan perlu didorong untuk lebih patuh dalam membentuk berbagai komite fungsional yang diperlukan dalam penerapan GCG.



 Lembaga-lembaga yang berfungsi mengawasi dan membina seperti Bank Indonesia, Menneg BUMN dan Bapepam LK agar lebih proaktif dalam mengawasi implementasi GCG terutama berkaitan dengan potensi terjadinya benturan kepentingan.
Selain itu, perlu diterbitkan peraturan yang dapat memaksa perusahaan sawsta yang belum terbuka dan BUMD untuk menerapkan GCG. Implementasi Good Goverment dan Clean Goverment pada institusi pemerintah terutama yang berkaitan dengan pelayanan publik seperti Ditjen Pajak, Bea Cukai, Imigrasi, BPN, Institusi yang mengeluarkan perizinan, dan institusi penegak hukum.
Hal ini untuk mendorong badan usaha lebih konsisten dalam menerapkan GCG serta untuk menciptakan iklam usaha yang lebih sehat, kondusif dan kompetitif. Dalam rangka meningkatkan kerjasama perusahaan dengan lembaga penegak hukum dalam upaya pencegahan korupsi, diperlukan rumusan bentuk dan metode kerjasama yang dapat dilakukan dan mendorong perusahaan untuk melakukan kerjasama dengan lembaga penegak hukum.
Perlu adanya sosialisasi yang intensif tentang pedoman umum GCG, penyusunan code of conduct, kaitan GCG dengan pencegahan korupsi, dan best practises dalam penerapan GCG melalui berbagai media.
E.   Struktur Organisasi dan Manajemen Perubahan dalam Good Governance
Menurut Lukman Hakim Saifuddin, (2004) good governance (G) di Indonesia adalah penyelenggaraan peerintahan yang baik yang dapat diartikan sebagai suatu mekanisme pengelolaan sumber daya dengan substansi dan implementasi yang diarahkan untuk mencapai pembangunan yang efisien dan efektif secara adil.
Oleh karena itu, good governance akan tercipta di antara unsur-unsur negara dan institusi kemasyarakatan (ormas, LSM, pers, lembaga profesi, lembaga usaha swasta, dan lain-lain) memiliki keseimbangan dalam proses checks and balances dan tidak boleh satu pun di antara mereka yang memiliki kontrol absolute.
Pengembangan publil good governance di Indonesia akan menunjuk pada sekumpulan nilai (cluster of values), yang notabane sudah lama hidup dan berkembang di masyarakat Indonesia. Sekumpulan nilai yang dimaksud tersebut adalah 11 (sebelas) nilai good governance yakni (1) check and balances, (2) decentralization; (3) effectiveness; (4) efficiency, (5) equity, (6) human rights protection, (7) integrity, (8) participation, (9) pluralism, (10) predictability, (11) rule of law, dan (12) transparency.
Pertanyaan yang muncul kemudian dalam implementasinya adalah bagaimana mendekati, mengidentifikasi, mengurai, dan mengupayakan pemecahan persoalan penegakan good governance. Menurut Lukman Hakim, ada tiga faktor determinan pencapaian good governance, yakni lembaga atau pranata (institutions/system), sumber daya manusia (human factor), dan budaya (cultures).
Terkait dengan tiga faktor determinan tersebut, pada subbab ini akan dibahas tentang lembaga atau pranata, budaya dan sumber daya manusia dalam dua bagian, yaitu struktur organisasi dalam good governance dan manajemen perubahan yang diperlukan oleh organisasi.
1.      Struktur Organisasi dalam Good Governance
Globalisasi dan perkambangan informasi akan mempercepat perubahan organisasi. Menurut Tulis (2000), perubahan terhadap sumber daya manusia sebesar 10 persen saja dapat mengubah struktur organisasi, selain perubahan ang disebabkan faktor teknologi, ekonomi, politik, dan sosial.
 Praktik manajemen yang lama baik menyangkut struktur organisasi, personel, dan tugas pokok, akan menyebabkan resistensi terhadap perubahan dan menyebabkan sulitnya melakukan restrukturisasi organisasi dalam rangka mencapai efisiensi. Dalam rangka menghadapi perubahan yang begitu cepat, maka beberapa hal yang penting dilakukan adalah :
a.    Memelihara kesadaran yang tinggi akan urgensi
Perubahan besar dalam organisasi, baik struktur dan budaya tidak akan pernah sukses bila organisasi tersebut cepat puas. Kesadaran tinggi akan tingkat urgensi yaitu memahami hak yang mendesak dan menempatkannya sebagai prioritas dalam menghadapinya, sangat membantu proses mengatasi masalah dan langkah perubahan yang besar. Peningkatan fungsi organisasi akan menyebabkan tingginya tingkat organisasi.
Untuk memelihara urgensi tingkat tinggi maka diperlukan sistem informasi manajemen yang menyangkut sistem informasi akuntansi, untuk keuangan, sistem informasi sumber daya manusia (SDM) untuk mengukur kinerja SDM, dan sistem informasi lain yang diperlukan oleh organisasi. Sistem informasi ini akan menjamin kecermatan dan kejelian data, sehingga data yang digunakan untuk pengambilan keputusan yang valid.



b.    Penyusunan pranata organisasi
Misi dan tujuan setiap organisasi sektor publik adalah memuaskan para pihak yang berkepentingan dengan pelayanan publik serta melestarikan tingkat kepuasan masyarakat. Tanangan untuk mencapai kepuasan adalah melalui mutu pelayanan yang prima atas pelayanan dan kepercayaan publik.
 Permasalahan dalam peningkatan mutu ini pada birokrasi terkendala dengan sumber informasi yang terbatas, tingkat pengetahuan aparat yang tidak memadai, budaya birokrasi, dan pengambilan keputusan yang tidak efektif karena delegasi wewenang yang tidak optimal serta tidak adanya insentif dan berkorelasi dengan sistem penggajian.
Permasalahan dalam penyusunan pranata organisasi adalah masalah keagenan, yaitu kebijaksanaan yang salah dan berjalan terus-menrus, program yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, serta pekerjaan yang tidak berkonstruksi terhadap pencapaian tujuan organisasi.
Singkatnya, tantangan utama dalam mendesain dan pengembangan pranata organisasi pemerintah dan sistem nasional adalah mengoptimalkan informasi pengambilan keputusan serta menciptakan sistem penggajian yang sepadan dengan kinerja. Perbaikan sistem informasi dan sistem penggajian berbasis kinerja ini akan meningkatkan mutu layanan dan kepercayaan publik.
c.    Perubahan Struktur Organisasi
Perubahan kondisi pasar, teknologi, sistem sosial, regulasi, dan pelaksanaan Good Governance dapat memengaruhi struktur pengembangan organisasi. Untuk perubahan struktur organisasi perlu dilakukan analisis biaya dan manfaat terhadap pengaruh pelayanan public terhadap organisasi melalui perubahan yang bersifat strategis.
Perubahan struktur organisasi mencakup tiga unsur sebagai determinan, yaitu: (a) sistem pendapatan wewenang, tugas pokok, fungsi dan tanggung jawab, (b) sistem balas jasa yang sepadan, dan (c) sistem evaluasi indikator atau pengukuran kinerja untuk individu dan unit organisasi.
Masalah utama dalam perubahan struktur organisasi adalah meyakinkan diri bahwa pengambilan keputusan dan akuntabilitas semua pihak yang berkepentingan terhadap organisasi mempunyai informasi dan pengetahuan yang relevan mengambil keputusan yang baik dan benar serta adanya insentif sepadan yang menggunakan informasi secara produktif dan terpercaya.

Perubahan lingkungan yang berpengaruh terhadap perubahan  struktur organisasi, biaya, dan manfaat langsung maupun tidak langsung harus dianalisis secara cermat dan hati-hati.
Perubahan struktur organisasi sebelum GG dan sesudah GG
Sebelum GG
Sesudah GG
Struktur bersifat :
1.  Birokratik,
2.  Multilevel
3.  Disorganisasi dengan manajemen
4.  Kebijakan, program, dan prosedur ruwet
Struktur bersifat :
1.  Nonbirokratik, sedikit aturan
2.  Lebih sedikit level
3.  Manajemen berfungsi baik
4.  Kebijakan, program dan prosedur sederhana, tidak menimbulkan ketergantungan
Sistem :
1.  Tergantung pada beberapa sistem informasi kinerja
2.  Distribusi informasi terbatas pada eksekutif
3.  Pelatihan manajemen hanya pada karyawan senior
Sistem :
1.  Tergantung pada sistem informasi kinerja
2.  Distribusi informasi luas,
3.  Memberikan pelatihan kepada karyawan yang membutuhkan
Budaya Organisasi :
1.  Orientasi ke dalam
2.  Tersentralisasi
3.  Lambat dalam pengambilan keputusan
4.  Realistis-idiologi
5.  Kurang berani mengambil keputusan
Budaya Organisasi :
1.  Orientasi ke luar
2.  Memberdayakan sumber daya
3.  Pengambilan keputusan cepat
4.  Terbuka dan berintegrasi
5.  Berani mengambil risiko

Dalam rangka pelaksanaan GG, makia organisasi modern dapat melakukan :
1.    Kesadaran yang tinggi terhadap tingkat urgensi
2.    Kerja sama tim yang baik dalam tatanan staf dan manajemen
3.    Bisa menciptakan dan mengomunikasikan visi, misi, dan program dengan baik
4.    Pemberdayaan semua karyawan dengan memerhatikan minat dan bakat
5.    Memberikan delegasi wewenang dengan efektif
6.    Mengurangi ketergantungan yang tidak perlu, dan
7.    Mengembangkan budaya organisasi yang adaptif dan penggunaan analisis kinerja
2.      Manajemen Perubahan
Sesuai dengan pertimbangan TAP MPR RI Nomor II/MPR/1999, masalah krisis multidimensi yang melanda negara Indonesia merupakan penghambat perwujudan cita-cita dan tujuan nasional. Reformasi di segala bidang, diharapkan dapat menjadi suatu langkah penyelamatan, pemulihan, pemantapan dan pengembangan pembangunan serta penguatan kepercayaan diri

Kemampuan para pemimpin penyelenggara pemerintahan dan masyarakat yang mengelola perubahan menjadi sangat krisis dan strategis, terutama sensitifitas dan responsibilitas terhadap tanda dan waktu perubahan tersebut diperlukan, khususnya dalam langkah penyelamatan, pemulihan, dan pengembangan. Ada dua hal yang perlu ditekankan dalam manajemen perubahan, yaitu mengapa ada perubahan yang berhasil dan ada yang gagal?
Perubahan yang gagal disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :
a.    Terlalu cepat puas
b.    Team work yang gagal
c.    Merumuskan visi, misi, dan program dengan kurang tepat
d.    Gagal menciptakan harapan sukses kepada seluruh anggota organisasi
e.    Menganggap perubahan sudah selesai dan hanya sekali memerlukan perubahan, dan
f.     Tidak bisa mengubah symbol, nilai, sikap dan norma organisasi dari yang lama menjadi budaya yang baru dalam organisasi.
Untuk mengurangi kegagalan dalam perubahan budaya organisasi, maka harus dihilangkan atau dikurangi dampak negatif dari perubahan seperti bubarnya organisasi, kehilangan pasar dan kepuasaan pelanggan, penurunan gaji dan harus dikikis dengan menjelaskan mengapa organisasi perlu mengadakan perubahan, bagaimana tahap perubahan, bagaimana hasil akhir dari perubahan, dan bagaimana peran serta dari setiap anggota organisasi dalam perubahan. Untuk mencapai keberhasilan dalam perubahan, ada beberapa hal yang diperlukan, yaitu :
1.    Menetapkan strategi, pentingnya, dan tahapan perubahan
2.    Mengembangkan semangat kerja sama tim yang tinggi
3.    Mengembangkan strategi komunikasi untuk menyampaikan visi, misi, program perubahan, sehingga anggota dapat termotivasi, dan
4.    Memberdayakan setiap anggota organisasi sesuai dengan kompetensi minat, dan bakat.
F.     Good Governance dalam Kerangka Otonomi Daerah
Upaya pelaksanaan tata pemerintahan yang baik, UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan salah salu instrumen yang merefleksikan keinginan Pemerintah unluk melaksanakan tata pemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal ini dapat dilihat dari indikator upaya penegakan hukum, transparansi dan penciptaan partisipasi. Dalam hal penegakan hukum, UU No. 32 Tahun 2004 telah mengatur secara tegas upaya hukum bagi para penyelenggara pemerintahan daerah yang diindikasikan melakukan penyimpangan.
Dari sistem penyelenggaraan pemerintahan sekurang-kurangnya terdapat 7 elemen penyelenggaraan pemerintahan yang saling mendukung tergantung dari bersinergi satu sarna lainnya, yaitu :
1. Urusan Pemerintahan;
2. Kelembagaan;
3 Personil;
4. Keuangan;
5. Perwakilan;
6. Pelayanan Publik dari
7. Pengawasan.
Ketujuh elemen di atas merupakan elemen dasar yang akan ditata dari dikembangkan serta direvitalisasi dalam koridor UU No. 32 Tahun 2004. Namun disamping penataan terhadap tujuan elemen dasar diatas, terdapat juga hal-hal yang bersifat kondisional yang akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari grand strategi yang merupakan kebutuhan nyata dalam rangka penataan otonomi daerah di Indonesia secara keseluruhan yaitu penataan Otonomi Khusus NAD
dari Papua, penataan daerah dari wilayah perbatasan , serta pemberdayaan masyarakat.
Setiap elemen tersebut disusun penataannya dengan langkah-langkah menyusun target ideal yang harus dicapai, memotret kondisi senyatanya dari mengidentifikasi gap yang ada antara target yang ingin dicapai dibandingkan kondisi rill yang ada saat ini.
Meskipun dalam pencapaian Good Governance rakyat sangat berperan, dalam pembentukan peraturan rakyat mempunyai hak untuk menyampaikan aspirasi, namun peran negara sebagai organisasi yang bertujuan mensejahterakan rakyat tetap menjadi prioritas. Untuk menghindari kesenjangan didalam masyarakat pemerinah mempunyai peran yang sangat penting.
Kebijakan publik banyak dibuat dengan menafikan faktor rakyat yang menjadi dasar absahnya sebuahnegara. UU no 32 tahun 2004 yang memberikan hak otonami kepada daerah juga menjadi salah satu bentuk bahwa rakyat diberi kewenangan untuk mengatur dan menentukan arah perkembangan daerahnya sendiri.
 Dari pemilihan kepala daerah, perimbangan keuangan pusat dan daerah (UU no 25 tahun 1999). Peraturan daerah pun telah masuk dalam Tata urutan peraturan perundang - undangan nasional (UU no 10 tahun 2004), Pengawasan oleh masyarakat.

Sementara itu dalam upaya mewujudkan transparansi dalam penyelenggaran pemerintahan diatur dalam Pasa127 ayat (2), yang menegaskan bahwa sistem akuntabilitas dilaksanakan dengan kewajiban Kepala Daerah untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintahan, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.
Sistem akuntabilitas semacam ini maka terdapat keuntungan yang dapat diperoleh yakni, akuntabilitas lebih dapat terukur tidak hanya dilihat dari sudut pandang politis semata. Hal ini merupakan antitesis sistem akuntabilitas dalam UU No. 22 Tahun 1999 dimana penilaian terhadap laporan pertanggungjawaban kepala daerah oleh DPRD seringkali tidak berdasarkan pada indikator-indikator yang tidak jelas.
Karena akuntabilitas didasarkan pada indikator kinerja yang terukur,maka laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak mempunyai
dampak politis ditolak atau diterima. Dengan demikian maka stabilitas penyelenggaraanpemerintahan daerah dapat lebih terjaga.
Masyarakat memiliki hak untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pelaksanaan pengawasan oleh masyarakat dapat dilakukan oleh masyarakat sebagai perorangan, kelompok maupun organisasi dengan cara: Pemberian informasi adanya indikasi terjadinya korupsi, kolusi atau nepotisme di lingkungan pemerintah daerah maupun DPRD. Penyampaian pendapat dan saran mengenai perbaikan, penyempurnaan baik preventif maupun represif atas masalah.
Informasi dan pendapat tersebut disampaikan kepada pejabat yang berwenang dan atau instansi yang terkait. Menurut Pasal 16 Keppres No. 74 Tahun 2001, masyarakat berhak memperoleh informasi perkembangan penyelesaian masalah yang diadukan kepada pejabat yang berwenang. Pasal tersebut berusaha untuk memberikan kekuatan kepada masyarakat dalam menjalankan pengawasan.










BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian–uraian dari bab–bab sebelumnya maka penulis mengambil kesimpulan yaitu:
1.      Pemerintahan yang baik tidak di lihat dari sistem yang berbuat atau rancanggan undang-undang yang di rumuskan, melainkan suatu sikap yang pasti dalam menangani suatu permasalahn tanpa memandang siapa serta mengapa hal tersebut harus di lakukan.
2.      Good Governance merupakan pengertian dalam hal yang luas sehingga untuk memberikan arti serta defenisi tidak semudah mengartikan kata perkata melainkan perlunya aspek –aspek serta pemikiran yang luas menyangkut bidang tersebut.
3.      Perlunya pengertian menggenai aspek-aspek dalam Good Governance sehingga tidak ada kesalahan dalam aplikasinya.
4.      Penerapan Good Governance dalam sistem kepemerintahan saat ini sangat di perlukan karena peranan perintah dalam memajukan suatu negara sangatlah besar.


B.     Saran
Atas kesimpulan di atas, penulis mengemukakan beberapa saran untuk membenahi kelemahan-kelemahan dalam penegakkan prinsip good governance di Indonesia yaitu:
1.  Integritas dan nilai etika perlu ditingkatkan atau dikomunikasikan dengan perilaku yang terbaik dan melibatkan pihak terkait. Karena sebaik apapun desain sebuah pengawasan tidak akan terlaksana dengan efektif, efisien dan ekonomis jika dilaksanakan oleh orang-orang yang memiliki integritas dan nilai etika yang rendah.
2. Kinerja Inspektorat atau pengendalian intern perlu terus ditingkatkan meskipun penulis mengusulkan sektor publik, namun itu bukan berarti mengabaikan sektor pengawasan intern.




                                                                                                 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar